Film Seribu Bayang Purnama, Potret Perjuangan Petani dan Harapan Baru dari Pertanian Alami

0
10
Film Seribu Bayang Purnama, Potret Perjuangan Petani dan Harapan Baru dari Pertanian Alami

KitaBogor – Untuk pertama kalinya dalam sejarah perfilman Indonesia, dunia pertanian menjadi fokus utama dalam film layar lebar berjudul Seribu Bayang Purnama. Di produksi oleh Baraka Films—rumah produksi yang telah lama di kenal lewat film-film dokumenternya. Film ini mencoba mengangkat realitas yang sering luput dari perhatian masyarakat kota: perjuangan petani di pedesaan modern.

Di sutradarai oleh Yahdi Jamhur, Seribu Bayang Purnama menghadirkan kisah getir para petani yang kesulitan mendapatkan modal. Harus berhadapan dengan harga pupuk dan pestisida kimia yang mahal, dan akhirnya terjerat utang kepada rentenir. Film ini ingin membuka mata masyarakat akan nasib para petani—pilar utama dalam ketahanan pangan nasional—yang hidup dalam lingkaran kemiskinan.

Inspirasi film ini datang dari ide Joao Mota, produser eksekutif dan aktivis pertanian alami. Ia memperkenalkan kisah sukses seorang petani muda dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mempelopori Metode Tani Nusantara. Sebuah pendekatan pertanian alami yang efisien, hemat biaya, dan tidak tergantung pada bahan kimia. Metode ini, yang mampu memangkas biaya pertanian hingga 80%. Menjadi solusi nyata bagi petani agar bisa mandiri dari jeratan utang dan bahan kimia industri.

Namun, seperti di gambarkan dalam film, menerapkan pertanian alami di desa yang telah lama bergantung pada pupuk kimia bukanlah hal mudah. Para pelopor metode ini menghadapi tantangan besar, termasuk perlawanan dari para pedagang pupuk. Konflik ini menjadi latar belakang utama cerita, di selingi kisah cinta antara Putro Hari Purnomo—tokoh utama yang di perankan oleh Marthino Lio—dengan Ratih (Givina), anak pemilik toko pupuk, sekaligus bagian dari keluarga saingan lama.

Putro, seorang pemuda yang pulang kampung setelah menempuh pendidikan di kota, bertekad membawa perubahan lewat pertanian alami. Ia ingin mewujudkan cita-cita ayahnya, Budi (di perankan Nugie), dan memperjuangkan nasib petani di desanya. Namun, perjuangannya dihadapkan pada rintangan sosial dan emosional yang tidak mudah. Ketegangan antara idealisme, konflik keluarga, dan cinta menjadi bagian kuat dalam cerita film ini.

Yahdi Jamhur yang dikenal lewat pengalamannya sebagai jurnalis TV dan pembuat film dokumenter, menyajikan film ini dengan pendekatan visual yang sinematik. Berlatar di sebuah desa di Yogyakarta, film ini memperlihatkan lanskap pedesaan yang indah dan bernuansa budaya. Naskah film ditulis oleh Swastika Nohara, penulis pemenang dua Piala Maya dan pernah dinominasikan dalam FFI 2014, menambah kedalaman karakter dan kekuatan cerita.

Selain menyorot pentingnya kemandirian petani, film ini juga mengusung pesan besar tentang pentingnya ketahanan pangan nasional dan pelestarian alam. Yahdi Jamhur berharap film ini dapat menginspirasi generasi muda untuk melihat pertanian sebagai pilihan hidup, bukan sekadar jalan terakhir.

Seribu Bayang Purnama akan tayang serentak di jaringan bioskop nasional mulai 3 Juli 2025. Menariknya, seluruh keuntungan dari penjualan tiket film ini akan digunakan untuk program pemberdayaan petani. Film ini adalah dedikasi nyata bagi para petani Indonesia yang selama ini menjadi tulang punggung penyedia pangan bangsa.

Previous articlePadukan Kelezatan Cita Rasa Asia, Luminor Hotel Kota Hadirkan Buffet “Symphony of Asia”
Next articleFilm “Hotel Sakura”: Ketika Horor Bertemu Emosi dan Budaya dalam Sebuah Kisah Nyata